Senin, 18 April 2011

Seputar Story - SESAJEN

SESAJEN


Sebuah desa yang keramat. Ya, desa itu memang keramat. Desa itu mempunyai banyak warga yang percaya dengan sesajen. Di Desa itu selalu ada sesajen yang disediakan para warga setiap malam Jum’at. Entah itu malam Jum’at Kliwon, Pahing ataupun Legi. Para warga tetap memberikan sesajen yang berisi beras merah dengan taburan bunga mawar merah diatasnya. Para pemberi sesajen yaitu siapa saja yang tinggal didesa itu. Biarpun warga asli desa itu, atau warga pindahan dari kota. Apabila satu malam Jum’at saja tidak memberikan sesajen, orang tersebut bisa gila.
Didesa itu juga, tinggallah seorang bapak dan anaknya. Bapak itu bernama Pak Tomo dan anaknya bernama Siti. Mereka hanya tinggal berdua. Ibunya merantau pergi ke kota untuk menafkahi keluarganya. Pak Tomo bekerja sebagai petani di desa itu. Dia menggarap sepetak sawah yang disewakan oleh Bang Marjo. Pak Tomo sangat memercayai tentang sesajen. Jadi, dia selalu memberi sesajen di Balai Desa.
Siti sekarang bersekolah di SMP AL-HIDAYAH. Siti anaknya baik hati. Dia dan bapaknya selalu memberi sesajen untuk desa keramat yang mereka tinggalli itu. Siti sangat percaya dengan sesajen itu. Sama seperti Bapaknya. Siti percaya dengan akibat apabila tidak memberi sesajen di Balai Desa. Dia akan gila. Tapi, hal itu sudah nyata. Ada sekitar lima orang di desa itu yang tidak memberikan sesajen dan esoknya gila.
Siti mempunyai sepupu dari kota. Namanya Tata. Tata pergi ke desa untuk berlibur di desa. Tata sebagai anak kota yang sudah gaul, tidak pernah percaya dengan takhayul-takhayul kuno seperti sesajen bisa membuat orang gila. Tata datang ke rumah Siti pagi itu. Tata sampai di rumah Siti dengan selamat.
“ Hai, Ta. Apa kabar?”, Siti memberi senyum kepada Tata. Tata tersenyum juga.
“ Hai, juga sepupuku. Udah lama ya, nggak ketemu. Kamu jadi cantik deh!”, Tata memuji sepupunya itu. Ya, Siti memang cantik. Dia seperti kembang desa.
“ Ah, kamu bisa saja! Ya sudah, sini tak bawain. Kamu tidurnya sama aku ya.”. Siti membawakan tas bawaan Tata yang isinya pakaian. Tata akan menginap di desa selama tiga minggu.
Sudah empat hari menginap di rumah Siti. Kini hari Kamis malam Jum’at Kliwon. Paman Tomo menyiapkan beras merah dan Siti mencari bunga mawar merah.
“ Paman, Siti. Kalian lagi apa sih?”, Tata bertanya kepada Pamannya dan sepupunya.
“ Ini, Nak. Paman lagi nyiapin beras merah sama mawar buat sesajen nanti malam. Kamu harus ikut. Nanti kalau tidak, kamu bisa gila.”, Paman Tomo menjelaskan.
“ Ha? Paman masih percaya sama begituan? Mana mungkin sih. Tapi, Tata kan bukan warga sini. Ngapain Tata harus ngasih tuh sesajen?”, Tata bertanya kepada Pamannya. Dia tidak percaya dengan sesajen bisa membuat gila itu.
“ Ta, Paman ceritain ya. Desa yang Paman tinggali ini desa keramat. Barangsiapa saja yang menginjakkan kaki di desa ini, mereka harus memberi sesajen yang berupa beras merah dengan taburan mawar merah setiap malam Jum’at. Apabila mereka satu kali saja tidak memberikan sesajen, mereka bisa gila. Siapapun itu. Entah Kepala Desanya, Pak RT, Pak RW, orang penting, bahkan orang luar, itu bisa gila. Jadi, kamu harus ikut memberi sesajen ini di Balai Desa nanti malam bersama Paman dan Siti. Oh, iya. Kamu juga harus memakai baju warna merah.”, Paman Tomo menjelaskan kembali dengan se-detail mungkin. Agar keponakannya bisa percaya.
“ Ya, sudah lah. Nanti malam Tata ikut.”. Tata keluar dari dapur dan dia duduk di ruang tengah. Tata masih agak malas untuk mengikuti petunjuk Pamannya. Percaya banget sama begitu. Kuno. HUH! Sesajen kok bisa bikin orang gila. Mana mungkin?, Tata berkata dalam hatinya.
Malamnya, Tata, Paman Tomo dan Siti berangkat menuju Balai Desa. Mereka semua memakai baju berwarna merah. Mereka sudah sampai di Balai Desa. Tata, Paman Tomo dan Siti duduk di tanah. Setelah para warga berkumpul di Balai Desa, mereka memulai acara. Acara dilakukan selama tiga jam. Mulai jam 7, sampai jam 10 malam. Setelah itu, mereka semua pulang. Tata langsung masuk ke kamarnya. Dia tertidur dengan pulas. Mungkin, Tata tidak terbiasa tidur semalam itu.
Hari berganti hari. Kini, malam Jum’at datang lagi. Paman Tomo menyiapkan beras merah dan Siti menyiapkan mawar merah. Mereka akan menyiapkan sesajen untuk malam Jum’at itu.
Malam tiba juga. Paman Tomo dan Siti sudah siap berangkat ke Balai Desa.
“ Ta, ayo ikut. Sana kamu ambil sepiring sesajen dan ganti baju merah. Nanti, kalau kamu tidak ikut, kamu akan gila.”, Paman Tomo mengajak Tata membawa sesajen untuk dikumpulkan di Balai Desa seperti Jum’at sebelumnya.
“ Ah, Paman. Tata udah males ngumpulin sesajen itu. Tata gak ikut. Tata gak akan gila kok!”, Tata mengacuhkan perintah Pamannya.
“ Ya sudah. Kalau kamu gila, Paman gak mau disalahin sama orang tua kamu lho!”, Paman Tomo akhirnya menyerah. Paman tomo dan Siti berangkat ke Balai Desa.
Kukuruyuk…
Suara ayam jago samping rumah Paman Tomo sudah membangunkan warga sekitar. Siti bangun dari tidur lelapnya. Dia melipat selimutnya dan menata tempat tidurnya. Dilihatnya di kasur sepupunya. Tata tidak ada!
“ Ta, kamu Dimana? Pak…Bapak…Tata tidak ada di kasurnya. Dia pergi kemana Pak?”, Siti berteriak memanggil Bapaknya. Dia kaget saat sepupunya yang terbangun siang, kini pagi-pagi sudah tidak ada di kasurnya. Membuat pagi yang cemas bagi Siti. Paman Tomo masuk ke kamar Siti. Paman Tomo juga menjadi cemas.
Akhirnya, Paman Tomo dan Siti meminta para warga untuk mencari Tata. Para warga mencari Tata kesana kemari. Paman Tomo dan Siti mencari di sekitar makam keramat Desa itu. Ternyata, Tata berada disana. Tata berubah sekali. Rambutnya berantakan. Bajunya menjadi sobek-sobek. Tata gila!
Paman Tomo membawa Tata ke Dukun setempat yang sudah terkenal.
“ Wah, Mo. Ponakanmu ini sudah kelewatan. Dia sudah tidak bisa diobati lagi. Menurut pengetahuanku, Ponakanmu ini pasti tidak hanya tidak mau meberi sesajen. Tapi, juga mengacuhkan tentang pemberian sesajen itu. Jadi, saranku. Bawa saja Tata ke Rumah Sakit Jiwa!”, Dukun itu menyuruh Paman Tomo untuk membawa Tata ke RSJ atau Rumah Skait Jiwa.
Akhirnya, Paman Tomo membawa Tata ke RSJ di kota dekat desa.
Jadi, bagi kalian semua. Harus percaya dengan sejarah yang ada. Walaupun terkadang sebagian takhayul seperti itu tidak ada, tapi kita harus tetap percaya bagi yang masih ada dan masih dipercaya para warganya sampai sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar

Seputar Story - SESAJEN

Senin, 18 April 2011

SESAJEN


Sebuah desa yang keramat. Ya, desa itu memang keramat. Desa itu mempunyai banyak warga yang percaya dengan sesajen. Di Desa itu selalu ada sesajen yang disediakan para warga setiap malam Jum’at. Entah itu malam Jum’at Kliwon, Pahing ataupun Legi. Para warga tetap memberikan sesajen yang berisi beras merah dengan taburan bunga mawar merah diatasnya. Para pemberi sesajen yaitu siapa saja yang tinggal didesa itu. Biarpun warga asli desa itu, atau warga pindahan dari kota. Apabila satu malam Jum’at saja tidak memberikan sesajen, orang tersebut bisa gila.
Didesa itu juga, tinggallah seorang bapak dan anaknya. Bapak itu bernama Pak Tomo dan anaknya bernama Siti. Mereka hanya tinggal berdua. Ibunya merantau pergi ke kota untuk menafkahi keluarganya. Pak Tomo bekerja sebagai petani di desa itu. Dia menggarap sepetak sawah yang disewakan oleh Bang Marjo. Pak Tomo sangat memercayai tentang sesajen. Jadi, dia selalu memberi sesajen di Balai Desa.
Siti sekarang bersekolah di SMP AL-HIDAYAH. Siti anaknya baik hati. Dia dan bapaknya selalu memberi sesajen untuk desa keramat yang mereka tinggalli itu. Siti sangat percaya dengan sesajen itu. Sama seperti Bapaknya. Siti percaya dengan akibat apabila tidak memberi sesajen di Balai Desa. Dia akan gila. Tapi, hal itu sudah nyata. Ada sekitar lima orang di desa itu yang tidak memberikan sesajen dan esoknya gila.
Siti mempunyai sepupu dari kota. Namanya Tata. Tata pergi ke desa untuk berlibur di desa. Tata sebagai anak kota yang sudah gaul, tidak pernah percaya dengan takhayul-takhayul kuno seperti sesajen bisa membuat orang gila. Tata datang ke rumah Siti pagi itu. Tata sampai di rumah Siti dengan selamat.
“ Hai, Ta. Apa kabar?”, Siti memberi senyum kepada Tata. Tata tersenyum juga.
“ Hai, juga sepupuku. Udah lama ya, nggak ketemu. Kamu jadi cantik deh!”, Tata memuji sepupunya itu. Ya, Siti memang cantik. Dia seperti kembang desa.
“ Ah, kamu bisa saja! Ya sudah, sini tak bawain. Kamu tidurnya sama aku ya.”. Siti membawakan tas bawaan Tata yang isinya pakaian. Tata akan menginap di desa selama tiga minggu.
Sudah empat hari menginap di rumah Siti. Kini hari Kamis malam Jum’at Kliwon. Paman Tomo menyiapkan beras merah dan Siti mencari bunga mawar merah.
“ Paman, Siti. Kalian lagi apa sih?”, Tata bertanya kepada Pamannya dan sepupunya.
“ Ini, Nak. Paman lagi nyiapin beras merah sama mawar buat sesajen nanti malam. Kamu harus ikut. Nanti kalau tidak, kamu bisa gila.”, Paman Tomo menjelaskan.
“ Ha? Paman masih percaya sama begituan? Mana mungkin sih. Tapi, Tata kan bukan warga sini. Ngapain Tata harus ngasih tuh sesajen?”, Tata bertanya kepada Pamannya. Dia tidak percaya dengan sesajen bisa membuat gila itu.
“ Ta, Paman ceritain ya. Desa yang Paman tinggali ini desa keramat. Barangsiapa saja yang menginjakkan kaki di desa ini, mereka harus memberi sesajen yang berupa beras merah dengan taburan mawar merah setiap malam Jum’at. Apabila mereka satu kali saja tidak memberikan sesajen, mereka bisa gila. Siapapun itu. Entah Kepala Desanya, Pak RT, Pak RW, orang penting, bahkan orang luar, itu bisa gila. Jadi, kamu harus ikut memberi sesajen ini di Balai Desa nanti malam bersama Paman dan Siti. Oh, iya. Kamu juga harus memakai baju warna merah.”, Paman Tomo menjelaskan kembali dengan se-detail mungkin. Agar keponakannya bisa percaya.
“ Ya, sudah lah. Nanti malam Tata ikut.”. Tata keluar dari dapur dan dia duduk di ruang tengah. Tata masih agak malas untuk mengikuti petunjuk Pamannya. Percaya banget sama begitu. Kuno. HUH! Sesajen kok bisa bikin orang gila. Mana mungkin?, Tata berkata dalam hatinya.
Malamnya, Tata, Paman Tomo dan Siti berangkat menuju Balai Desa. Mereka semua memakai baju berwarna merah. Mereka sudah sampai di Balai Desa. Tata, Paman Tomo dan Siti duduk di tanah. Setelah para warga berkumpul di Balai Desa, mereka memulai acara. Acara dilakukan selama tiga jam. Mulai jam 7, sampai jam 10 malam. Setelah itu, mereka semua pulang. Tata langsung masuk ke kamarnya. Dia tertidur dengan pulas. Mungkin, Tata tidak terbiasa tidur semalam itu.
Hari berganti hari. Kini, malam Jum’at datang lagi. Paman Tomo menyiapkan beras merah dan Siti menyiapkan mawar merah. Mereka akan menyiapkan sesajen untuk malam Jum’at itu.
Malam tiba juga. Paman Tomo dan Siti sudah siap berangkat ke Balai Desa.
“ Ta, ayo ikut. Sana kamu ambil sepiring sesajen dan ganti baju merah. Nanti, kalau kamu tidak ikut, kamu akan gila.”, Paman Tomo mengajak Tata membawa sesajen untuk dikumpulkan di Balai Desa seperti Jum’at sebelumnya.
“ Ah, Paman. Tata udah males ngumpulin sesajen itu. Tata gak ikut. Tata gak akan gila kok!”, Tata mengacuhkan perintah Pamannya.
“ Ya sudah. Kalau kamu gila, Paman gak mau disalahin sama orang tua kamu lho!”, Paman Tomo akhirnya menyerah. Paman tomo dan Siti berangkat ke Balai Desa.
Kukuruyuk…
Suara ayam jago samping rumah Paman Tomo sudah membangunkan warga sekitar. Siti bangun dari tidur lelapnya. Dia melipat selimutnya dan menata tempat tidurnya. Dilihatnya di kasur sepupunya. Tata tidak ada!
“ Ta, kamu Dimana? Pak…Bapak…Tata tidak ada di kasurnya. Dia pergi kemana Pak?”, Siti berteriak memanggil Bapaknya. Dia kaget saat sepupunya yang terbangun siang, kini pagi-pagi sudah tidak ada di kasurnya. Membuat pagi yang cemas bagi Siti. Paman Tomo masuk ke kamar Siti. Paman Tomo juga menjadi cemas.
Akhirnya, Paman Tomo dan Siti meminta para warga untuk mencari Tata. Para warga mencari Tata kesana kemari. Paman Tomo dan Siti mencari di sekitar makam keramat Desa itu. Ternyata, Tata berada disana. Tata berubah sekali. Rambutnya berantakan. Bajunya menjadi sobek-sobek. Tata gila!
Paman Tomo membawa Tata ke Dukun setempat yang sudah terkenal.
“ Wah, Mo. Ponakanmu ini sudah kelewatan. Dia sudah tidak bisa diobati lagi. Menurut pengetahuanku, Ponakanmu ini pasti tidak hanya tidak mau meberi sesajen. Tapi, juga mengacuhkan tentang pemberian sesajen itu. Jadi, saranku. Bawa saja Tata ke Rumah Sakit Jiwa!”, Dukun itu menyuruh Paman Tomo untuk membawa Tata ke RSJ atau Rumah Skait Jiwa.
Akhirnya, Paman Tomo membawa Tata ke RSJ di kota dekat desa.
Jadi, bagi kalian semua. Harus percaya dengan sejarah yang ada. Walaupun terkadang sebagian takhayul seperti itu tidak ada, tapi kita harus tetap percaya bagi yang masih ada dan masih dipercaya para warganya sampai sekarang.

0 komentar:

Posting Komentar